Candi Bekel Kendalisada, Hadiah nan Berharga

shares


Mojokerto - Aku masih ingat, hari itu tanggal 30 Nopember 2017. Dan, aku adalah pihak yang paling antusias dengan proyek pendakian ke Bekel ini. Alasannya simpel : bakal menyapa Si Cantik Kendalisada yang sudah aku baca sampai bosan di buku-buku sejarah tetapi aku belum tau bentuk aslinya.
Rombongan kali ini dipimpin oleh Yang Mulia Panglima 623 : Panglima Berkuda Putih Ing Bandoeng, dengan penasehat utama Kanjeng Senopati Gayungan dan Gusti Putri Sumur Welut. Dan yang jadi anggota adalah saya yang paling tua, dan adik-adik Pramuka Unair bersama Panglima Putri, dan Senopati Nagari Tuban Kulon.
Semula aku sudah merasa bahwa jam berangkat ini terlalu malam, tentu tak akan ada waktu untuk sekedar istirahat sejenak sebelum matahari terbit. Apalagi kita terpisah menjadi dua kubu sebelum sampai di Jolotundo. Aku dan rombongan Panglima berangkat dari Nagari Kahuripan Mulyoredjo alias Kampus C Unair dan Kanjeng Senopati Gayungan dan Gusti Putri Sumurwelut berangkat entah dari Gayungan atau Sumurwelut. 

Tiba di Gapura Bawah Jolotundo
Sudah menunjukan pukul 23.40 WIB dan Senopati Krian yang berboncegan dengan Panglima Putri belum tampak. Senopati Gayungan dihubungi juga susah. Padahal kami tadi sudah nitip nasi ayam-bebek untuk dimakan sebelum mulai perjalanan pendakian. Menunggu. Dan menunggu. Seperti menunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang, dan setelah satu jam di-wa ada chat masuk : maaf saya ada rapat, besok saja minggu depan. Pedih. Setelah setengah jam, Angga dan Ayu datang dengan cengengesan karena tahu kalau tadi salah mengambil jalan. Dan tak lama setelah itu Kanjeng Senopati Gayungan dan pasangan datang, persis seperti wijen dengan onde-onde yang selalu lengket dan melengkapi. 

Tiba di Musola Pelataran Jolotundo
Hal pertama yang kita cek adalah perlengkapan dan perbekalan. Dan setelah itu kita putuskan untuk makan. Sisa hujan tadi sore membuat suasana basah, bak tangisan karena putus cinta : bebas, lega namun ada yang hilang.

Mulai Jalan
Perjalanan diawali dengan berdoa, lalu membentuk barisan satu banjar ke belakang, Senopati Gayungan paling depan sedangkan Yang Mulia Panglima dan saya paling belakang. Jalanan melipir sungai mati ini masih datar dan sesekali justru bonus turunan. Namun sayang vegetasi begitu rapat, rumput-rumput jarang diinjak dan dahan-dahan lama tak tertebas membuat jalan seperti hilang. Tapi jangan hilang arah karena ditinggal si dia,ini hutan gaes. Ditambah lereng bawah Penanggungan adalah hutan hujan yang masih lumanyan rapat dengan pohon-pohon besar membuat rawan salah jalan. Namun percayalah pada yang pernah, dan berikan kepercayaan kepada pemimpinmu. Seorang pemimpin tak akan mengorbankan anak buahnya. Dan kepercayaan itu sekarang justru makin terkikis. Seolah pemimpin adalah penanggungjawab atas semua kejadian buruk. Itu membuatku pilu. Jauh lebih pilu dibanding doi minta putus waktu itu, karena tak ada rasa bebas tetapi justru terbebani pikiran teramat sangat,

Tanjakan Dimulai
Satu jam sudah kita berjalan dengan santai penuh tanya, tawa dan lagu sumbang di dinginnya dini hari, tanjakan yang untung tak tampak itu siap menghadang.
" Tanjakan iki bakal terus, miring nemen, sampek Kendalisodo. Siap-siap dengkul ! ", seru Gusti Putri Sumurwelut. Dan, ucapannya benar adanya. Well, ini adalah tanajakan paling aduhai yang pernah aku lalui, seingatku begitu. Tanjakan Dancuk Arjuna Tretes, atau Gumuk Pasir Mahameru pun Tanjakan ke Puncak Pawitra tak semenakutkan dan selicin ini. Fix, mudun jo lewat kene. Dan itu pasti kita harus pilih jalur lain untuk turun. Saat vegetasi beganti bambu bambu, kita bertemu hantu. Hantu dalam bentuk burung nangkring. Yup burung hantu jawa, sebut saja begitu.

Terjangan Badai 
Setelah membuat nutrisari panas di pelataran Candi Kama II yang sempit, kita berjalan lagi. Tetapi menurutku ini merangkak. Angin bersama kabut yang mulai mengembun menerjang tanpa henti. Bak nyanyian marah patah hati : menggebu, dingin,dan sendiri karena cemburu dalam bisu. Vegetasi yang rapat membantu seperti perisai angin, seumpama ini di lokasi terbuka semisal padang savan mungkin kita sudah terbang, bak kenangan yang tak diharapkan datang lagi. Putus asa mulai menyergap, namun kita gak boleh patah arang. Kita harus sampai dan nanti pagi saat sudah terang dan sarapan kita harus pulang. Besok saya wisuda oey dan saya belum punya sepatu fantovel. 
Saat beberapa rekan mencapai putus asa, termasuk Angga dan Panglima, teriakan sudah dekat terus menggebu mengalahkan suara angin yang marah. Biarlah mantan berkeluh kesah, kita tetap jalan gaes. 

Kendalisodo Si Cantik 
Kendalisodo muncul di balik semak tepat sebelum subuh, dan dingin yang sangat. Aku coba memegang dada, dan dinginnya sama, sudah lama tak ada yang menghangatkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menyuruh yang teramat kelelahan untuk istirahat di dalam Gua dan memasukan segala barang bawaan ke sana juga karena kabut makin deras mengembun. 
Lain, kita mulai pasang tenda satu-satunya karena yang lain kita turunkan di Pelataran Jolotundo. Pelataran Kendalisodo sangat sempit, hanya muat untuk tenda kecil ukuran di bawah empat, kalau lebih akan merusak tanaman hias dan resiko masuk jurang semakin besar. Walau samar, Kendalisodo kelihatan cantik, sangat sangat cantik dan basah. Bak perawan selesai mandi keramas. Selanjutnya, aku, panglima dan senopati gayungan mulai merebahkan punggung, setelah yang lain rebah duluan baik di dalam gua maupun di dalam tenda. Kita menikmati udara pagi di atas matras di depan teras pertama Kendalisodo, dan relief ini masih utuh dan bagus. Pagi semakin terang dan semakin tampak pula cantikmu, wahai masterpice.

Kedalisodo adalah candi berundak yang diperkirakan dibangun pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Tempatnya termasuk di lokasi yang sulit, di tebing curam yang langsung berhadapan ke arah jurang. Namun justru mengamankan candi ini dari pengerusakan tangan-tangan nakal. Walau di beberapa bagian sudah tampak bekas congkelan di beberapa panil relief, yang paling parah adalah hilangnya fragmen Werkudara di Gapura Gua.


Adanya bekas dupa dan belitan kain kuning pada teras puncak candi, bisa dikirakan bahwa candi ini masih digunakan untuk peribadatan tertentu. Selain di teras puncak, dupa juga ada di banyak tempat di sekitar candi. Candi Kendalisodo memiliki empat panil relief yang menceritakan perjalanan spiritual Panji dalam fragmen Cerita Panji yang berkembang pada masanya. Relief dibaca dengah arah berlawanan dengan arah jalan jarum jam dimulai dari relief kiri teras pertama dan berakhir ke panil kiri teras kedua yang mengarahkan ke arah gua yang ada di kiri gua.


Panil ke - 1 ( Teras Pertama Kiri Tangga )
Ada sekelompok orang sedang dalam posisi menyembah kepada dua orang yang sedang tidur di dalam sebuah bangunan yang merupakan bagian dari sebuah komplek. Dua orang yang berbaring itu adalah orang tua Galuh Candra Kirana, yang mana dalam panil ini bukan berarti disembah tetapi dimintai restu oleh Galuh Candra Kirana yang berada pada posisi paling depan, beserta Panji yang ada dibelakangnya dan dua orang batur di paling belakang. Ceritanya Panji mengajak Candra Kirana untuk melakukan perjalanan spiritual, sehingga sangat perlu memohon restu dan ijin orang tua.


Panil ke-2 ( Teras Pertama Kanan Tangga )
Empat orang berjalan beriringan dimulai dari Galuh, Panji dan dua orang batur di sebuah tempat dengan pemandangan yang indah. Di sini, Galuh ditempatkan di depan, karena memang perjalanan ini ditujukan khusus untuk dia. Dalam panil ini dia menoleh ke Panji untuk menanyakan apakah jalan yang dia ambil benar atau salah. Panji dengan gerakan tangannya seperti memberikan wejangan. Sedangkan dua orang patur tampak saling mengobrol sendiri. Tandanya mereka tidak mau mengganggu intimisme Galuh dan Panji.


Detail relief Panji memberikan pengarahan atau wejangan kepada Galuh saat Galuh bertanya apakah jalannya benar. Di sini tampak lebih jelas mereka berjalan di jalan setapak yang digambarkan berupa bulatan-bulatan. Jalanan berbatu adalah wujud dari jalan spiritual ini tidak mudah. Ujian pertama dalam perjalana spiritual ini. Di sini Galuh bisa melewatinya. Rongga di atas kepala Panji pada panil ini adalah bekas congkel paksa. Kepala Panji ini sejatinya sudah lepas dari batu, tetapi tetap ditempatkan diposisinya.


Panil ke -3 ( Teras ke 2 Kanan Tangga )
Pada panil ini tampak Galuh sedang dipangku Panji yang memainkan reong dalam posisi yang romantis atau intim. Sedang kedua batur juga tampak sibuk berbicara sendiri tidak ada maksud mengganggu. Panji sedang memberikan wejangan yang lebih intens kepada Galuh dengan diisi hiburan, bagaimanapun Panji juga suami dari Galuh. Wejangan tersebut juga membahas mengenai rintangan pertama, dan akan ada rintangan berikutnya yang justru akan lebih besar. Bahwa perjalanan ini tidak melulu jalanan berbatu yang licin dan tajam saja. Sehingga Galuh harus mulai bersiap. Pada panil ini, Kepala Panji sudah hilang, tampak dari bekasnya seperti dicungkil paksa.


Panil ke- 4 ( Teras ke 2 Kiri Tangga )
Panil ini menampilkan bahwa perjalanan mereka sudah sampai di pinggir laut. Galuh dalam posisi tersujud, sedang Panji mengarahkan ujung telunjuknya ke arah laut ( sayang sekali lagi kepala Panji sudah hilang tercongkel, termasuk telunjuknya hilang ikut tercongkel ). Pada panil terakhir ini, Panji menunjukan ujian berikutnya adalah samudra. Samudra yang luas dan dalam adalah wadah yang menampung segalanya, penuh makna dan berbahaya. Galuh harus mampu menyelaminya, memahaminya, dan mendapatkan cerahan ilmu dari dalamnya. Samudra dengan segala yang ada di dalam dan yang terjadi padanya adalah wujud kehidupan manusia itu sendiri, sedangkan petuah-petuah Panji merupakan pedoman untuk menjalaninya. Laut yang luas juga tanda bahwa perjalanan spiritual tidak ada habisnya, sampai nyawa usai. 

Telunjuk Panji sejatinya juga menunjuk ke arah Gua yang ada di sisi kiri candi. Maksunya, Panji mengarahkan pembaca relief untuk lebih memahami pelajaran hidup dengan cara bermeditasi atau bersemdi. Dalam hal ini pembaca relief diminta untuk mengevaluasi perjalanan yang sudah dilaluinya untuk memulai perjalan berikutnya.


Gua yang berarti gelap dan sempit juga berarti Panji mengarahkan pembaca relief untuk tidak melupakan Tuhan. Sejatinya perjalanan hidup dan spiritualnya adalah untuk Tuhan dengan ridho Tuhan dan petunjuk Tuhan. Manusia dan sesamanya adalah perantara yang mengarahkan, menjadi guru dan tauladan seperti halnya para Nabi dan pemuka agama. Pada gapura gua harusnya ada relief Bima Suci yang terendam dalam air laut, yang mana kisahnya sudah kita kenal bahwa Bima atau Werkudara diuji untuk mengambil air suci keabadian di laut namun justru bertemu Dewa Ruci. Maksud relief ini ditampilkan di gapura adalah untuk menegaskan insan dalam melakukan perjalanan spiritual harus fokus dan sungguh-sungguh walau ada rintangan akan tetap dihadapi. Dan sejatinya perjalanan spiritual itu akan memberikan hasil yang tak terduga sebelumnya.

Kendalisada memang Masterpice tidak hanya keindahan relief tetapi juga maksud di dalamnya. Bahwa kita apa pun yang kita lakukan perlu mendapatkan ijin dan restu orang tua. Apapun itu kita perlu arahan, dan arahan terbaikm berasal dari guru. Apalagi dalam urusan agama jangan sampai salah memilih guru atau pengarah. Panji sebagai sosok suami adalah suami ideal yang mengajak isterinya untuk bersama menjalani jalan spiritual dengan benar, dengan ilmunya yang sudah mumpuni ( jadi ingat ngaji dan salat yang masih bolong-bolong ). Kemudian berniat dan sadarilah bahwa apa yang dilakukan ini segalanya hanya untuk mendapatkan Ridha Tuhan. 

Selain empat panil relief bercerita, Kendalisada juga dihias dengan ormamen tertentu yang menjadi lambang kapan bangunan ini didirikan. Pada ujung tangga ada hiasan ukir ukel yang merupakan ragam hias tangga masa periode Majapahit. Selain itu juga dihiasi motif sulur-suluran dan belah ketupat.


Hiasan Arca Dwarapala pada Candi Kendalisada justru disembunyikan dibelakang pojok kiri maupun kanan tangga. Namun sayang kondisinya sudah tak utuh, jadi tak diketahui bagaimana wujud aslinya, terutama ekspresi wajahnya.




  
Relief suluran ini menghiasi dinding teras ke tiga , baik di sisi kiri maupun sisi kanannya. Masing-masing terdiri dari delapan kotak suluran.



Teras ke empat hanya dihias oleh hiasan belah ketupat baik sisi kiri maupun sisi kanan tangga. dan masing-masingnya berjumlah tiga buah.


Teras puncak adalah tempat Lingga beserta Yoni. Ukuran Lingga Yoni pada Candi Kendalisada tidaklah besar. Lingga dan Yoni adalah wujud penyatuan. 

Urutan penataan ragam hias ini juga mempunyai makna yang mendalam. Arca Dwarapala di pojok belakang relief adalah hawa nafsu yang mengganggu perjalanan manusia. Sedang empat panil relief yang rumit pada teras pertama dan kedua adalah wujud godaan duniawi yang tiada habisnya. Relief sulur pada teras ke tiga dan belah ketupat pada teras keempat adalah wujud dimana manusia sudah mulai lepas dari godaan duniawi. Sedangkan teras ke lima, dimana ada Lingga dan Yoni merupakan wujud menyatunya manusia kepada Tuhannya. Sedangkan tangga yang lumayan terjal itu merupakan wujud perjlanan yang tidak mudah.

Memasak dan Bersiap Ke Puncak Bekel
Sudah jam 06.00 kami bersiap memasak. Masak penuh canda tawa riang di kaki candi adalah pengalaman yang sangat berbeda dan unik. Selanjutnya kami foto bersama dan memulai menghabiskan tanjakan terakhir ke Puncak Bekel dan turun memutar melewati jalur pendakian Jolotundo.

Menikmati Angin di Puncak Bekel
Badai kemaren masih menyisakan sedikit angin basah yang membuat malas mengeuarkan camera. Puncak Bekel merupakan padang savana yang terbuka, membuat angin terasa sampai ke tulang. Meremas kulit, merobek dagimg, padahal itu sudah jam 09.00 pagi. Ah, kayak kenangan mantan saja, sudah lama tapi tiba-tiba muncul merusak mood.  

Turunan Aduhai dan Serakan Candi-Candi

Selain Kendalisada dan Kama II saat turun menuju jalur Jolotundo kita disuguhkan situs lain yang juga luar biasa. Seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa candi di Penanggungan kebanyakan berbentuk teras berundak-undak. Dan setelah menuruni turunan aduhai sampai terpeleset-peleset, kita sampai di Candi Naga I. Candi ini merupakan candi dengan teras terbanyak di Bekel. Dibagi menjadi dua kelompok teras. Yakni teras atas dan teras bawah. Teras atas masih berwujud bangunan, sedang teras bawah adalah lapangan luas yang berundak-undak.
Ragam hias pada Candi Naga yang utuh tinggal motif belah ketupat seperti di Candi Kendalisada. Candi ini juga memiliki hiasan tangga ukel dan pada puncaknya ada Lingga, sayang Yoni nya sudah hilang. Selain itu tidak ada hiasan yang begitu penting. Tampaknya reliefnya telah hilang atau memang dibuat polos. Namun dugaan terkuat adalah candi ini memang sudah dijarah. Sungguh sangat disayangkan. Ini bukan mantan pak, jadi gak perlu dihilangkan, apalagi dicungkil-cungkil lalu dilelang.



Tak jauh dari Candi Naga II, kami menemukan tumpukan batu kali yang menggunung. Ternyata ini adalah situs Candi Pandawa. Tak seperti namanya yang merupakan lima ksatria perkasa, candi ini sudah runtuh dan tampak upaya untuk membangunnya kembali walau dengan hasil yang kurang memuaskan. Melihat konsidi candi ini, sama dengan status percintaanku : Nelangsa.

Setelah Candi Pandawa jalur kembali rapat, dan tampak jalur ini sangat jarang dilewati. Hampir-hampir tertutup, harus jeli mencari celah. Setelah melewati itu, dari tengah rerimbunan muncullah Candi Yudha. Kondisi Candi Yudha lebih baik ketimbang Candi Pandawa. Teras dan bangunannya masih kelihatan, dan ada halaman membentuk taman yang lumayan luas.


Namun Candi Yudha juga nelangsa, seluruh reliefnya dari kesemua panilnya telah berhasil dicungkil dan dibawa entah kemana.  Hanya ada satu hiasan belah ketupat pada relief ke empat dan Lingga beserta Yoni nya raib. Saya berani mengatakan relief ini hilang sebab pada foto tahun 90-an candi ini utuh beserta reliefnya. Sekali lagi dalam kekaguman saya menangis dalam hati.

Selanjutnya setelah dari Candi Yudha, jalan akan bertemu dengan Jalur Pendakian Pawitra via Jolotundo. Pembahasan candi di jalur tersebut akan dijabarkan pada postingan berikutnya ya. Selanjutnya kami baru tiba di Jolotundo setelah ashar, karena terlalu lama break sampai ketiduran di Candi Shinta. Sampai di Jolotundo tentu kami sempatkan mandi, berlama-lama. Seakan saya lupa besok wisuda dan saya belum punya Fantovel, andai wisuda bisa pakai sandal gunung. Sampai kost, sudah jam 20.30, langsung tancap gas beli sepatu. Jam 22.30 ikut tidur di Sanggar SC karena takut gak bangun. Wisuda akhirnya.....tepat pada waktunya....


Terima Kasih
Teruntuk kawan-kawan adik-adik Pramuka Soerabaja 622-623 yang telah memberikan kado wisuda terbaik. Terimakasih Kak Kharis dan Kak Vivi selaku kawan karib yang seperti saudara yang telah mengantarkan ke Kendalisodo walau melintas badai. Terima Kasih pula rekan-rekan UKM yang telah memberi tempat bernaung sampai terlalu jauh ini. 
Ayok Jalan !


Related Posts