Gunung Argopuro dan Puncaknya yang Manis, Rengganis

shares


Situbondo - Aku mulai mengenal gunung sejak lahir, pun aku lahir di kaki Gunung Wilis barat Kota Kediri. Namun aku baru mengenal pendakian gunung saat mulai kuliah. Dan aku sangat berterimakasih kepada Kozin dkk yang akhirnya membuatku ketagihan mendaki. Sekarang aku sangat rindu kabut, dingin dan ketinggian. 

Gunung Argopuro adalah salah satu gunung yang tak terlupakan. Aku mendakinya kekira tahun 2013, masih bersama Kozin dkk. Konon menjadi jalur pendakian terpanjang di Jawa, setelah sebelumnya mendaki yang tertinggi di Jawa : Jogring Saloko, Semeru di tahun sebelumnya.

Argopuro adalah gunung yang memiliki status sebagai suaka marga satwa. Merak Hijau banyak ditemui di sini, pun rusa, celeng dan tanaman endemik bernama unik : Dancukan. Walau namanya unik, jangan menumbuhkan niatan untuk menyentuhnya, kau akan menyesal.


Aku rasa pohon ini adalah penjaga kedamaian. Jangan sampai kau menyentuh, meremas, apalagi jika kelaparan mencoba makan daunnya. Bisa jadi kau merasa terbakar berhari-hari dan berteriak-teriak sumpah serapah andalan.

Hari ke-1 Bungurasih, Besoeki dan Sumbermalang

Aku paling antusias, juga karena keinginan mendaki sudah menggebu setelah setahun lalu dari Semeru. Aku ingat saat itu musim hujan yang sangat basah. Setelah packing barang standart kecuali tenda, aku berangkat ke Terminal Purabaya sebagai titik pertemuan. Nyatanya aku datang paling awal, dan menunggu mereka hingga lewat dhuhur. Untung ada live musik penyanyi lokal yang lumayan menghibur. 
Mereka akhirnya datang dan setelah sedikit koordinasi kita naik bus jurusan Probolinggo. Sekedar info, bus ekonomi untuk arah timur adalah bus ekonomi dengan kondisi terburuk dibanding jurusan lainnya, dan engkau tak bisa memilih. Terkenal dengan armada yang usang, ringkih dan jalur penuh copet. Jadi berhati-hatilah jika suatu saat nandi mendapat kesempatan ini. 
Kami berganti bis di Terminal Bayuangga, memilih bis jurusan Situbondo, atau Banyuwangi jalur utara dan selanjutnya turun di Besoeki. Kota Kecamatan Besoeki dulunya adalah Kota Karesidenan Besoeki, menjadi kota terpenting di timur jawa pada masanya. Kota tempat segala barang perkebunan dikumpulkan dan selanjutnya dikirim melalui pelabuhannya. Namun, nampaknya kota ini mulai ditinggalkan di masa akhir kolonial. Sekarang Besoeki menjadi second city di wilayah Kabupaten Situbondo yang membentang barat ke timur sejauh lebih dari 120 KM, dan kota ini berada di barat. Besoeki adalah kota santri, kota pesisir, dan kota tua. Di sekitar Alon-Alon ada bekas bangunan penting seperti Masjid Agung, Gedung Resident dan Gedung Kawedanan yang sekarang dimanfaatkan sebagai gedung sekolah. 
Kota Besoeki adalah kota pesisir yang damai, yang indah dinikmati kala sore dan malam hari, terutama di sekitar Alon-Alon. Setelah menyelesaikan ibadah magrib-isyak dan makan malam, Kozin mencari carter kendaraan ke Sumbermalang. Kiraku dari Alon-Alon Besoeki ke Sumbermalang sekitar satu jam, dan udara segera berbeda, berganti menjadi lebih bersahabat yakni segar dan sedikit dingin. 
Turun dari kendaraan dan mengurus perbekalan, kita mengurus SIMAKSI yang saat itu masih sangat murah kurang dari lima ribu per orang sampai kelar pendakian. Lalu pergilah kami untuk tidur. Karena sudah sangat malam, dan besok berencana berangkat di pagi buta. Namun aku ragu, tentu saat sudah terang. Hanya ada dua rombongan, yakni rombongan kami yang berjumlah...aku lupa hehe, dan rombongan anak-anak SMA beserta gurunya yang sudah datang duluan. Selamat malam.

Hari ke-2 Badai Ketenangan di Mata Air 1

Perkiraan kemaren tepat, memang berangkat pagi buta namun itu untuk rombongan anak-anak SMA, kalau kami seperti biasa jam kerja kantor. Sarapan, membeli sayur, bersih diri dan pamit dengan penjaga resort/kantor perijinan  pendakian dan berdoa, kami mulai perjalanan ini yang terasa sangat menyenangkan.


Jalanan diawali dengan persawahan, konon ini memotong jalan memutar dan lebih cepat. Melintasi galengan terasering dengan pemandangan yang menyejukan mata. Tanah masih disiapkan untuk ditanami padi. Kemudian bergangti dengan medan kebun-kebun. Jalanan masih lumayan datar dan terbuka. Jangan tanya : Puncak sudah kelihatan belum ? Sangat jelas belum.



Medan yang terbuka mulai berganti dengan vegetasi tanaman berkambium, dan jalan mulai menyempit, namun tengahnya terdapat bekas ban sepeda motor yang menggerus tanah. Bekas ban sepeda yang dalam ini seolah membelah jalan, yang membuat pilihan sulit untuk berjalan, yaitu masuk ke dalamnya atau mengangkang. Aku memilih mengangkang walau bikin lelah. 


Langit nan biru berganti putih, tanda kabut mulai turun. Putih nan lama menjadi hitam dan tentu akan turun hujan dengan deras. Perkiraan sudah dekat dengan Pos 1 : Mata Air Satu.


Aku kira dari Sumbermalang ke POS Mata Air 1 ini kurang lebih lima jam. Mata Air satu hanyalah sebuah bukaan yang sempit, hanya cukup untuk tiga tenda waktu itu. Dan jika kau bertanya dimana mata airnya , jawabannya nan jauh di bawah jurang sebelah kiri dengan turunan yang lumayan wow jika harus membawa air untuk naik. Pos Mata Air 1 berada di punggungan yang di batasi ngarai baik di kiri maupun kanannya. Di sebelah kiri adalah ngarai sempit tempat sumber air, dan di sebealh kanan ngarai yang lebar, yang memiliki banyak air terjun.


Badai turun dengan sangat manis, tepat setelah tenda selesai dibangun dan acara masak sudah selesai. Angin menyapa dengan mesra dengan lagu-lagu yang menyanyat hati. Fix, bermalam di sini.

Hari Ke-3 Savana ke Savana


Matahari mengintip malu pagi itu, kami bersiap kembali. Setelah segalanya selesai terutama membereskan tenda basah yang akan menambah berat bawaan. Hari ini target Cikasur, bagaimana pun harus sampai Cikasur hari ini. Team dibagi 2, team cepat dan team lambat, karena ada anggota rombongan yang sakit. Segala perbekalan baik tenda dan alat masak dibawa team cepat. Aku ikut team ini. Dan jalur menanjak kembali.




Sekali lagi jalanan dibelah ban sepeda motor. Menjengkelkan memang, dan akan semakin jengkel bila ada pendaki lewat naik ojek sambil dada-dada. Memang ada layanan ojek dari Sumbermalang ke Cikasur tetapi bagiku itu payah, ini mendaki bukan sedang ke pasar. Ibaratnya itu merusak seni pendakian. 

Naik sampai Pos Mata Air 2, istirahat sejenak dan akan memasuki turunan di tengah pohon pinus. Dari sini nan jauh di sana sudah nampak sebuah savana. Savana 1 Argopuro, yang menjadi savana terkecil dari jalur ini. Di sini kami bertemu dengan pemburu lumut, dan ternyata beliau-beliau ini yang menyediakan jasa ojek untuk naik. Ternyata banyak juga buruannya sudah berkarung-karung. 


Jalur selanjutnya nampak jelas, sekali lagi ikuti bekas ban motor yang merusak jalan itu, membelah savana. Dari Savana 1 kita masuk hutan lagi, dan di sinilah permulaan kemesraan dengan DANCUKAN dimulai, jadi berhati-hatilah. DANCUKAN tumbuh dari dasar hutan sampai lebih dari empat meter, memenuhi kanan kiri jalan bak pagar labirin nan kejam dan tanpa ampun.




Masuk hutan berarti tanjakan. Siapkan kaki, pundak dan segalanya. Tetapi jangan risau, sejenak akan berganti turunan dan kita akan memasuki Savana II berjuluk Alon-Alon Kecil.




Alon-alon adalah lapangan besar, yang walau berjuluk Alon-alon kecil tetap saja besar. Jauh lebih besar dibanding Savana I. Tempat yang cocok untuk menikmati siang nan sahdu. Jika perlu santap siang di sini. Namun, jika air sudah banyak berkurang tahan sejenak, kita kan melanjutkan safari ke savana berikutnya : Cikasur.



Masuk hutan pinus kembali. Menikmati rerimbunan. Tetapi jangan menikmati DANCUKAN, sekali lagi jangan. Pun, jangan iseng mengganggu semak. Tak tahu apa yang ada dibaliknya, bisa saja rumah tawon. Intinya naik gunung atau dimanapun jangan iseng. Topografi dalam pendakian Argopuro via Sumbermalang terasa khas-nya, naik - turun - naik - memutar bukit. 




Jika belum jalan enam jam dari mata air satu, jangan bertanya sudah dekat Cikasur ? Bisa jadi belum jika belum menemukan ngarai dangkal dengan aliran air yang menyegarkan mata, lengkap dengan merak dan beberapa satwa sedang minum air. Cikasur ada di seberangnya, namun kita tidak menyeberangi sungai itu, teteapi memutar sampai hulu dimana sumber air itu ada baru naik lagi menuju Cikasur.



Cikasur adalah savana terindah nan hidup dengan segala aktivitas hewan di dalamnya, dan ada di ketinggian. Cikasur nan damai dan tenang.




Jika sudah memutar dan sedikit naik, akan kita jumpai sebuah bangunan gazabo terbuka dengan empat tiang, sebagai penanda : Selamat datang di Cikasur. Dan di sebelahnya ada pohon pinus dengan plat bertuliskan : Cikasur.



Cikasur adalah savana yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanyalah padang rumput yang ujungnya dibatasi hutan pinus.








Sembari menunggu team lambat, kami mencoba menyeberangi Cikasur dengan tujuan mencari kayu. Karena kami yakin malam ini akan sangat dingin, pun sebelum kabut turun. Kami menyeberang sampai hutan di seberang gazebo, lumayan jauh. Kami menemukan kotoran hewan yang mungkin adalah rusa atau babi hutan. 





Sesampainya di hutan seberang itu, kami menyibak semak dan tara : DANCUKAN menyambut dengan sangat manis. Kita salah terka, dari semua semak diantara pinus, DANCUKAN mempunyai proporsi paling besar. Kami kembali dengan hampa, dengan tangan kosong.



Lalu agar tak sia-sia, ditengah savana nan luas ini, marilah mengambil beberapa gambar. Angin menerpa dengan tenang, tetapi malam nanti pasti ribut.






Suasana yang betul-betul damai. Dan mereka belum juga datang. Zuhro punya ide cemerlang : Kalau tidak mandi, kita akan kedinginan nanti malam, ayok mandi dan cari selada air, selagi mereka belum datang. Gue : Sepakat, anti sabun ini di alam. Berjalan kami menuju sungai dan mulai mandi. Selanjutnya memanen selada air yang aku baru tau bentuknya seperti krokot dan rasanya sedikit sengau.




Mandi usai, panen usai. Dan sekarang waktu mendirikan tenda. Di savana yang luas ini tempat yang paling aman dan tak berangin adalah di dalam tembok bekas bangunan di samping gazebo. Konon, tembok yang nampak tinggal separo ini adalah bekas kantor lapangan terbang, dan lapangan terbangnya adalah Cikasur itu sendiri. Konon lagi pembangunannya memakan banyak korban jiwa karena masih menggunakan metode manual. Dan konon lagi lagi : setiap malam akan terdengar suara merintih. Duh sudah angin mulai menyanyikan lagu menyanyat hati karena bergesekan dengan ranting dan semak, kini ditambah dengan rintihan lengkap. Alamat tidur pakai headset. 




Malam pun turun setalah semua rombongan sampai. Tidak sedingin yang ku kira, sayang berkabut sehingga ditempat yang jauh dari polusi cahaya ini bintang tak tampak. Kami bermalam di sini dengan damai, sedamai telinga memakai headset. Dan malam ini kita kenyang selada air yang menurutku terasa sengau.


Hari ke-4 Pagi Cikasur, Senja Puncak dan Malam Lembah 




Pagi kembali kepada Cikasur. Di tempat baru, selalu bangunlah pagi, apalagi rumah calon mertua. Pagi di Cikasur sangat indah, walau tertutup bukit dan hutan di timur, matahari yang menyapa perlahan mulai menghangatkan raga.



Pagi itu, bukan jatah masak. Jadi bisa lebih ada waktu luang menikmati Cikasur. Cikasur memang tempat yang sangat memukau, semoga kau terjaga dalam diamnya Argopuro, menjaga kedamaian Sang Dewi Rengganis.


Sampai jumpa lagi Cikasur...

Rindu ini sudah tumbuh...
Bahkan sebelum kaki melangkah jauh...



Tenda lebih kering dibanding kemaren karena malam tak hujan. Selanjutnya hari ini, di hari yang sangat cerah dengan langit sangat biru, kita akan summit, ya walau masih jauh. Setidaknya enam jam lagi. Dari tempat menginap ke tempat menginap berikutnya rata-rata enam jam. Team cepat berangkat duluan, menyisir sebelah kanan Cikasur mengikuti jalanan yang nampak. Cikasur juga awal jalan tanpa bekas roda motor, dan jalanan relatif landai.



Setelah meninggalkan Cikasur sampai tak tampak, kita memasuki hutan lagi, berganti menjadi cemara gunung. Dan hati-hati DANCUKAN masih setia. Hutan berganti savana kecil, masuk hutan lagi lalu menanjak bertemu sungai, setelah itu sampailah di Cisentor, Pos yang teduh di tengah hutan cemara. Ada sisa telah digunakan menginap semalam, tentu adik-adik SMA yang bertemu di pos perijinan dulu.



Cisentor adalah tempat sangat ideal untuk menginap, teduh ada di lereng sehingga terlindung dari angin dan badai, serta ada sungai. Setelah istirahat sejenak di sini, jalanan kembali naik. Lalu sampailah kami di Rawa Embik.



Jangan cari rawa di Rawa Embik, kita sudah diketinggian lebih dari 2500 mdpl di sini, bahkan mungkin lebih. Rawa Embik adalah hambaran seluas lapangan bola, dan di ujungnya ada sumber air, yang merupakan sumber air terakhir sebelum puncak. Kita tak akan menginap di sini, kita akan menginap di lembah antara Puncak Rengganis dan Puncak Argapura.



Air harus diisi penuh di Rawa Embik. Tak boleh ada ruang kosong berisi udara. Memasak pun harus di sini. Karena air yang dibawa ke atas adalah air untuk masak besok pagi dan untuk minum naik dan turun besok.

Lembah Rengganis, aku menyebutnya. Lembah ini tepat diapit dua bukit yang sejatinya ujung dari Dataran Tinggi Hyang : Rengganis dan Argapura. 


Puncak bukit yang bersinar itulah puncak tertinggi : Puncak Argopura 3088 mdpl yang akan kita daki sore ini setelah mendirikan tenda tentunya. Selain untuk mengamankan semua barang di dalam tenda, ini untuk mengisi waktu menunggu rombongan di belakang, istirahat dan menunggu udara lebih dingin lagi. Sudah enam jam kita berjalan, dan nampaklah di bukit itu pasti ada tanjakan. Kabar baiknya, dari Cisentor, Si DANCUKAN sudah tak nampak. Alhamdulilah.



Pendakian yang tinggal sebentar lagi menuju Puncak Hyang Argopura ini dilengkapi dengan jalur batu-batu serta hutan cemara gunung yang padat. Saat sudah sedekat ini, jangan tergesa, nikmati selagi bisa. Puncak tak akan berpindah.


Puncak Hyang Argapura bukanlah puncak gundul semacam savana di Pawitra atau hamparan pasir vulkanik ala Mahameru, atau tumpukan batu-batu besar ala Ogal-Agil. Puncak Hyang Argapura adalah hutan, sekali lagi hutan. Jika berniat lihat matahari terbit atau terbenam di sini adalah lokasi yang tidak tepat, karena terhalang pohon-pohon cemara.




Puncak Hyang Argapura ditandai dengan bangunan dari tumpukan batu berbentuk punden, dilengkapi dengan dua tongkat yang dipasangi Bendera Merah Putih. Selain itu juga ada plat bertuliskan Argapura.



Bagaimanapun setiap puncak adalah hasrat, memiliki kekhasan masing-masing dengan keindahan masing-masing. Dan sebelum malam datang dan angin meraung lebih ganas, kita turun menuju lembah sambil mencari kayu untuk menghangatkan malam. Lebih tinggi, tentu lebih dingin, dan angin bakal lebih ribut.






Lembah di ketinggian ini adalah lembah yang cantik dan memiliki topografi yang berbeda di setiap jengkalnya. Sebelum mendaki tanahnya berbatu-batu, dan agak dijauh sana, dilokasi yang benar-benar lapang, tanahnya sangat datar. Tenda dibangun di pinggir lapangan di bawah rerimbunan pohon cemara, agar terhindar dari sapuan angin lembah. 

Malam ini, adalah malam terakhir di sini. Rasanya malam terasa sangat panjang, dan mata sulit terpejam. Walau sudah jalan lebih dari enam jam hari ini. Puncak adalah tanda awal adanya turunan. Selamat Malam, Dewi.


Hari ke-5 Rengganis dan Taman Hidup


Sekali lagi, bangunlah pagi, pergi shalat malam, subuh, dan mari menyapa Sang Dewi di Puncak Rengganis. Jangan didului Sang Surya yang perkasa.


Jarak tenda dengan Puncak Rengganis lebih dekat ketimbang ke Puncak Hyang Argapura, jadi santai saja walau kita kalah dengan Sang Surya. Puncak Rengganis sejatinya adalah bekas kawah aktif Argapura yang semakin hari semakin kecil. Walau begitu aroma belerang masih sangat tercium. Di beberapa titik masih ada kepulan asap belerang dengan volume yang sangat kecil. Maka dari itu puncak ini bisa dikatakan puncak terbuka, sama dengan Puncak Welirang. 




Walau tak mendapatkan semburat merah Sang Surya, setidaknya masih mendapat yang kekuningan. Surya sudah di atas pegunungan Raung-Ijen. Dan paling kiri kami menerka itu Gunung Agung, walau ragu mungkin juga Gunung Baluran.



Puncak Rengganis ditandai dengan gundukan batu putih, tanpa bendera. Berada diujung undakan yang dikelilingi edelwais dan cantigi. Hanya ada plat kecil yang menunjukan ini adalah Puncak Rengganis.



Puncak Rengganis lebih pendek dibanding Puncak Hyang Argapura, namun disinilah kecantikan itu tanpa penghalang. 



Puncak Rengganis juga dihiasi reruntuhan bangunan peninggalan yang diduga adalah Istana Dewi Rengganis. Termasuk tembok baluwerti, gapura, kolam dan pondasi-pondasi bangunan.




Reruntuhan ini sudah sangat rusak. Hanya sedikit bekasnya yang bisa dilihat. Ada juga bentuk seperti makam, namun aku ragu itu peninggalan, bisa juga perbuatan pendaki lain. Tetapi kebenarannya perlu diselidiki, karena di sini tak ada penjelasan sama sekali.



Batu-batu ini melekat dengan sangat kuatnya, seperti sudah terpasang sangat lama dan didukung oleh semesta.









Dan di bawah sana, tampaklah lembah tempat tenda kami berdiri di pinggirnya. Dan sebelum panas semakin menyengat, kami turun ke sana. Tapi sebelum itu, kami harus melewati hamparan tanah berbatu putih ini sekali lagi.



Semoga Rengganis masih ada di sini, jagalah segala keindahan ini bersama kekuatan alam dan kuasa Ilahi. Aamiin. Terima kasih sudah menerima kami, dengan hangat, dengan damai, dengan suguhan yang sangat manis.

Lembah ini juga akan kami tinggalkan, selanjutnya kami akan turun langsung jauh. Bayangan jalan yang panjang sudah tampak. Kami akan turun via Bremi dan singgah tanpa menginap di Danau Taman Hidup.




Sarapan seadanya, jaga minum, air baru ditemukan lima jam lagi di Taman Hidup. 


" Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak kaki, jangan mengambil apapun kecuali gambar, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu, memang bisa bunuh waktu ? "


Perjalan turun dimulai dengan memutari Bukit Rengganis, jalanannya hampir tak tampak. Serasa diminta untuk terjun ke bawah. Karena yang tampak hanyalah jurang, dan kita bakal lewat tebing seterjal itu.




Setelah seperti itu, akan berganti melintasi jalur-jalur miring dan penuh pohonan ambruk. Sumpah kalau naik lewat sini pasti melet, dan angkat tangan. Ampun.





Kemudian jalur berganti dengan mendadak. Turunan sudah selesai, jalan landai, dan vegetasi juga turut berganti. Semak rumput gajah setinggi dua meter, mengganggu pandangan, seperti labirin tanpa ada petunjuk jalan. Saat seperti ini aku menyesal membagi kelompok menjadi dua, ini harus disatukan sampai jalan terbuka lagi. Selanjutnya diantara cemara gunung, tampaklah nan jauh di sana, seperti mata biru : Danau Taman Hidup. Tetapi itu masih sangat jauh-jauh sekali.



Setelah hutan cemara gunung yang tiada habis, tanpa savana, hutan berganti heterogen : Hutan Rapat Hujan Tropis dan berlumut. Kami menyebutnya hutan lumut. 



Ada suatu waktu matahari tak dapat menempus karena rapatnya kanopi hutan. Vegetasi sangat beragam. Termasuk jenis-jenis jamur.





Melewati hutan macam ini adalah kesenangan dalam kewaspadaan. Waspada akan hewan buas yang tak nampak, macam ular, kalajengking dan serangga mematikan. Hutan akan terus rapat sampai menemui sebuah bukaan satu-satunya. 



Dan bukaan itu tak lain dan tak bukan adalah lokasi Danau Taman Hidup. Danau cantik nan luas di lereng Argapura. Dan dari danau ini, Puncak Hyang Argapura sudah kelihatan. Kelihatan sangat jauh, dan medannya akan memberi pelajaran berharga kepada kaki.






Taman Hidup sedang meluap ketika kami datang. Taman Hidup berbeda dengan Ranu Kumbolo, danau ini memiliki dasar dan pinggiran berupa tanah liat sehingga dibuatkan jembatan dan dermaga untuk membantu tidak terbenam lumpur. Namun kalau sedang meluap, jembatan dan dermaga ini pun tenggelam.





Taman Hidup mempunyai keunikan, saat kau berteriak maka kabut akan datang tiba-tiba menutup pemandangan Puncak Hyang dan sekelilingnya. Jika ingin tetap cerah, jangan lakukan itu.



Danau ini juga sumber air satu-satunya saat kami turun menuju Bremi. Maka disinilah kami memasak makan siang menjelang sore setelah lima jam jalan kaki dari puncak sebelah sana itu. Semua bekal dikeluarkan dan segala yang bisa dimasak dimasak. Habis. 




Ternyata kami memang terkesima dengan Taman Hidup, kami di sini jauh sampai menjelang senja. Perkiraanku dari sini ke Bremi tinggal satu jam. Tetapi rupanya berbeda.




Taman Hidup adalah danau yang benar-benar dikelilingi hutan perawan tanpa sedikitpun beton. Hanya ada lumpur-lumpur penjaga. Semoga engkau tetap lestari. Aamiin. 

Jangan mandi di sini, belum diketahui dalamnya. Dan Taman Hidup adalah sumber air satu-satunya di jalur ini. Mari peka jaga bersama.





Selamat tinggal Taman Hidup, berarti selamat tinggal wahai Dewi Rengganis yang cantik tiada tara. Aku terpikat padamu, dengan segala hal yang ada padamu. 

Perjalanan pulang dihadang hutan rapat kembali. Hutan Lumut masih panjang dan luas. Setelah itu magrib turun, dan kami yang ada grup cepat belum juga keluar dari hutan. Perasaan panik mulai merebak. Apalagi dalam team ini belum pernah ada yang lewat sini. Kami takut tersesat. Insting Pramuka : Cari tanda jejak muncul. Aku cari apapun tanda jejaknya, rafia, sampah, potongan kayu, kertas plastik dan batu. menjelang isyak kami memasuki kebun Damar. Cahaya lampu mulai tampak, dan suara motor mulai terdengar setelah sekian hari tak mendengarnya. Dan itu harusnya sudah dekat, tetapi jauh juga. Jalan setapak perganti lebih lebar, berganti makadam, berganti aspal dan kami bertemu dengan Gapura Hitam dengan satu lampu di tengah, dan saya berbalik setelah melewatinya. Sumpah itu ucapan selamat datang yang terlalu dini diucapkan. Kami turun selama hampir tiga jam baru sampai, apalagi naik.




Malam bertambah pekat, rombongan terakhir masuk desa sekitar pukul 21.00 . Acara selanjutnya setelah bersih diri adalah mencari makan. Ini desa harus mau seadanya. Seingatku masih ada penjual mie ayam di depan Masjid Desa Bremi. 


Selanjutnya kembali ke Pos Perijinan yang tak lain adalah rumah warga setempat. Kami menumpang tidur untuk malam ini. Dan besok harus bangun sebelum subuh. Bis satu-satunya ke Banyuangga hanya ada jam 06.00 pagi dan baru adalagi jam 15.00. 


Kopi diseduh, diminum lalu tidur. Ah besok aku sudah tak menatapmu lagi, Rengganis. 


Hari Ke-6 Pulang Membawa Air Susu


Beduk subuh belum diketuk, namun sebagai orang numpang harus tahu diri. Suasana pagi di Bremi bisa dibilang sibuk. Ibu-Ibu tampak membawa wadah susu untuk disetor ke koperasi. Dan kebetulan pemilik rumah juga punya sapi perah. Kami mencoba memerah susu, dan langsung meminumnya. Rasanya hangat dan aroma daging. Dan kami beli seluruh hasil perahan berliter-liter.




Susu kami tuang dalam jurigen yang kemaren jadi tempat air, juga dalam botol-botol air mineral. Sejak itu saya jadi pecinta susu perahan, mohon digaris bawahi susu sapi. Kami juga sempat menengok ke koperasi susu. Susu dari sini akan dikirim ke pabrik susu di bawah untuk diolah menjadi berbagai macam olahan.


Selanjutnya dengan segala bawaan, kami menunggu bis. Bis itu lewat juga, masih kosong. Memang mulai jalannya dari Bremi tentu masih banyak kursi kosong. Bremi ke Banyuangga lumayan lama, bisa mencicil tidur. Kemudian kami berganti bis menuju Purabaya Bungurasih. Lalu setelah sekian hari bersama, Bungurasih yang menjadi saksi kami bertemu, menjadi saksi pula kami berpisah. 


Terima kasih kepada semua rekanp-rekan yang mengajak mendaki kali ini, baik Kozin, Hanif Al Kadiry, Bagus, Zuhro dan Rekan-Rekannya yang tak dapat aku sebut satu-satu karena lupa namanya. Jujur. Kapan waktu ayok mendaki lagi. 


Teruntuk engkau Rengganis,

Jaga diri ya,
Maaf aku hanya mampu mendoakan keselamatanmu,
Lain waktu aku akan menengokmu,
Segera,
Aamiin.....

Related Posts