Gunung Pawitra, Pendakian Ditengah Puasa

shares


Mojokerto - Ada yang gundah mengajak mendinginkan kepala. Aku pun ingin. Aku ingat saat itu H-7 lebaran. Cuaca memang sedang panas, karena sudah masuk bulan Juni. Persiapannya cukup seadanya. Dan hanya aku dan Panglima, yang sudah dua kali mendaki Pawitra namun tak pernah sampai puncak. Alasannya mengada-ada yakni karena membawa perempuan dengan jumlah yang banyak.

Berangkat di Siang Nan Panas
Perjalanan sedikit berputar-putar. Diawali dari Kampus C Mulyorejo menuju Nagari Berbek untuk mengambil peralatan lain di Pondok Pesantren tempat Panglima bernaung. Dan itu lama. Sedang aku menunggu di lapangan timur pondok. Alasannya ada Pak Kiai, jadi nunggu beliau pergi dulu, baru ikut pergi kemudian. Aih tanpa pamit.
Jalanan yang berdebu mengiringi perjalanan sampai jauh. Sampai Krian, truk-truk besar entah apa isinya memenuhi jalan di siang hari yag aduhai panasnya. Panas. Berdebu dan bikin dahaga umat. Baru masuk kawasan Jolotundo setelah Ashar. Wahai kawan yang budiman, Jalur Pendakian Jolotundo dinyatakan ditutup saat Ramadan. Dan Panglima yang sudah merasa kepalang tanggung tak mau kembali. Akhirnya muncul kesepakatan : Sila mendaki tak usah bayar simaksi, ada apa-apa tanggung sendiri. Pilihan yang sulit, dan Panglima yang sudah dua kali ke sini merasa cukup pengalaman, walau tidak sampai puncak.

Awal Perjalanan
Kami berdua baru jalan pukul 16.30 WIB dengan harapan bisa berbuka puasa di Candi Shinta sambil masak-masak ringan. Namun, saat awal berjalan Panglima sudah menyampaikan sebuah titah kejujuran : Kemaren saat bersama gadis-gadis aku gengsi mas ngomong kesel, saiki ambek sampeyan tok aku ngomong kesel pas kesel. Gak gawe gengsi.
Baru berjalan sekian menit sudah : Mas, ojok cepet-cepet aku kesel. Mas. Mas kesel aku.
Aku ikut payah juga. Dan Adzan pun berkumandang jauh sebleum kita sampai Candi Bayi. Berhenti sejenak membuka bekal dan kami pun mulai berjalan kembali.

Menerobos Malam Nan Sepi
Betul, gunung ini sepi tak ada orang selain kami. Sepi dengan angin semilir santai, dan lagit sedang cerah. Rembulan tak malu-malu, sehingga bintang kalah pendar. Setelah beberapa langkah dari Candi Shinta, Panglima sudah mulai lapar lagi. Dan akhirnya kami memasak dengan medan yang sangat jauh dari layak, kemiringan 60 derajad. Sebuah kegilaan : dimana lapar mengalahkan segalanya. 

Jalur Semakin Berat
Berat karena perut tambah isi, dan juga tanjakan tak habis-habis serta tampak di depan mata. Puncak yang sejatinya sudah dekat, serasa makin jauh. Didekati lagi menjauh kembali. Terus berjalan melintasi Trowongan Mina , sebuah tanjakan yang diapit tebing setinggi dua meter sehingga membentuk lorong, dan terus terus akhirnya sampai juga di Lembah Puncak Pawitra. Dan kondisinya kosong. Sepi. Untung angin tidak berhembus kencang. Mendirikan tenda, menikmati malam, memasak sisa bekal karena yakin besok sahur pasti pulas. Kopi tidak lupa diseduh, teman di setiap kondisi, apalagi puncak gunung nan sepi begini. Sepi ini terasa damai. Sangat damai. Dan kami tertidur pulas. 

Mas...
Ada yang berbisik lamat-lamat : Mas ndang ngombe sing akeh, selak poso. Aku wes ngombe setengah botol mau. Panglima membangunkan dan ku lihat langit timur sudah merah merekah. Ku lihat jam tangan. Gila sudah jam lima. Kemplo. 

Sunrise di dalam Tenda
Malas itu kadang mengalahkan harapan. Dan ini terjadi pada kami. Niat hati ingin menikmati sunrise di puncak yang tinggal lima menit jalan kaki, terkalahkan dengan kemalasan tubuh dipeluk sleepingbag dalam tenda. Alahasil tenda yng sudah menghadap ke timur tinggal dibuka resletingnya, dan kita manikmatinya dari dalam tenda. Menikmati seutuhnya tanpa ada mengabadikan moment. Sekali jepret saja. Maklum kita bukan kaum milenial. 




Pawitra, Pertama Untuk Panglima

Tiga kali mendaki via Jolotundo, baru pertama sampai puncak di Bulan Ramadhan pisan. Panglima sungguh bahagia. Serasa cita-citanya kesampaian. 


Menjadi tenda satu-satunya di Puncak. Ada diantara semak rerumputan yang mulai tinggi. Tampak dikejauhan pendaki dari Jalur Tamiajeng sudah di puncak duluan.




Puncak Pawitra memiliki akses untuk menikmati Arjuna-Welirang secara utuh. Jika lewat jalur Tamiajeng Gunung ini sudah tampak indah sejak puncak bayangan, sedangkan dari Jalur Jolotundo baru akan kelihatan keseluruhan jika sudah sampai puncak.




Triangulasi penanda Puncak Pawitra berupa susuna baja setinggi kurang dari setengah meter, yang selanjutnya menopang tongkat besi untuk berkibarnya Sang Saka Merah Putih. Arjuna-Welirang betul-betul menyapa dari sini.

Pukul 8 Pagi kita bergegas turun, sebelum matahari menyengat kepala dan membuat dahaga makin terasa. Jalur turun sama dengan jalur naik, dan ini cukup terjal dan miring.




Baik aku dan Panglima sudah sekian kali terperosok. Apalagi saat melewati tanah labil dan bebatuan bercampur pasir yang lepasan. Sedang separuh Gunung Penanggungan hanya memiliki vegetasi rumput, sehimgga tak ada pegangan sama sekali. Kayaknya memang tangan ini masih ditakdirkan sendiri tanpa pegangan.huhuhu.




Jauh di belakang tampak Puncak Bekel, dan dibalik sana Sang Kendalisada berdiam diri. Puncak Bekel tampak begitu asri berupa padang rumput yang halus. Sedangkan lerengnya memang kelihatan terjal sekali, sekali pun dipandang dari jauh.

Jalur Jolotundo adalah salah satu jalur purbakala. Sehingga di jalur ini berserak beberapa situs percandian. Situs paling atas di mulai dari Candi Shinta dan berakhir di Candi Jolotundo sendiri.

Candi Shinta, Kecantikan di Ketinggian





Candi Shinta berbentuk punden dengan dua teras dan langsung ditutup puncak berupa pondasi berbentuk kubus. Kondisi candi ini bisa dikatakan utuh yang nelangsa. Masih berwujud namun tidak sempurna. Ragam hias pada candi ini juga sudah banyak yang hilang. Candi Shinta juga memiliki altar namun berada di sisi kanan candi, terpisah dari candi induk.



Kemuncak Candi Shinta yang berbentuk balok tunggal yang berasal dari tumpukan batu ini juga diperkirakan  sebagai altar suci persembahan kepada Dewa Gunung. Candi Shita jika ditilik hadapannya langsung menuju ke Puncak Pawitra tanpa halangan apapun, baik vegetasi tinggi maupun gundukan bukit yang lain. Bisa jadi candi ini adalah salah satu candi utama di Penanggungan.




Pada kemuncak ini ditemukan sedikit ragam hias berupa sulur-suluran yang sudah tidak utuh lagi. Penataan yang seadanya karena kurangnya batu pembentuk candi, entah karena belum ditemukan atau hilang juga membuatnya semakin tidak jelas.

Candi Gentong, Tempat Bersuci




Candi Gentong berjarak kurang dari 50 meter dari Candi Shinta. candi ini terdiri dari dua benda. Satu Meja Altar dan satu Gentong Batu yang terbenam separuhnya di dalam tanah. Kemungkinan situs ini digunakan untuk bersuci sebelum melakukan persembayangan di Candi Shinta.Di keduanya tidak ditemukan ragam hias yang berarti kecuali goresan garis-garis.



Gentong Batu ini berukuran cukup besar yang terbuat dari batu utuh yang dibentuk menjadi gentong tempat penampungan air. Di sekitar candi ini tidak ditemukan sumber air. Bisa jadi air dibawa dari bawah atau menampung air hujan.

Candi Pura, Serakan Yang Bersejarah


Candi Pura memiliki bentuk dasar yang mirip dengan Candi Shinta, namun memiliki teras yang luas dan lebih panjang. Kondisi terkini candi ini sudah runtuh dengan upaya membangun dengan bahan bangunan yang ada. Ada beberapa ragam hias di candi ini, namun begitu sederhana yakni motif sulur dan belah ketupat pada beberapa batu candi.



Di bagian teras terbawah terdapat lumpang yang lumayan besar. Keberadaan lumpang di sini mungkin merupakan peralatan peribadan untuk sesi tertentu yang belum dapat di definisikan. 


Saat ini sedang ada pengalihan jalur untuk lebih mengamankan keutuhan Candi Pura yang tersisa. Semula jalur berada di dalam area candi, sekarang dialihkan di sisi kiri candi.

Candi Putri, Kecantikan Utuh yang Terjarah




Candi Putri metupakan candi yang paling cantik dari deretan candi di jalur ini. Candi ini masih relatif paling utuh dengan bentuknya yang tegas sebagai punden berundak berteras-teras. Namun sekali lagi tak ada relief penting di sini. Dinding teras pertama dan kedua polos, tidak diketahui apakah memang polos atau sudah dicuri pihak tak bertanggungjawab.



Puncak candi ini sudah hilang, hanya tersisa potongan meja altar seperti di Candi Shinta. Namun kami menemukan sisa pembakaran dupa pada anglo di atasnya. Kemungkinan belum lama candi ini digunakan untuk peribadatan persembayangan tertentu.






Bentuk tangga ukel yang khas ini menandakan candi ini dibangun pada periode akhir Kerajaan Majapahit. Candi Putri berlokasi di tempat yang sangat rimbun di antara pohon-pohon berkambium yang lumayan besar. Sehingga membuat candi ini lebih jarang terterpa sinar matahari, yang hasilnya menyebabkan lumut lebih mudah tumbuh dan menggrogoti batu candi.

Candi Bayi, Candi Mungil Penyambut Pendaki




Candi Bayi berada di titik paling bawah sebelum memasuki kawasan hutan heterogen. Memiliki bentuk seperti Candi Shinta namun relatif jauh lebih kecil. Kondisinya betul-betul sudah runtuh dan ada upaya penataan kembali walau tidak sempurna. Areal candi ini berada juga sangat sempit. Namun di bawahnya ada lapangan yang lumayan luas. ditemukan beberpa ragam hias namun tidak jelas itu apa.

Perjalanan berakhir sampai memasuki duhur. Menikmati kesegaran air Jolotundo sekalian membersihan keringat dan kotoran di badan. Selanjutnya kami meluncur pulang, menuju Kota Perjuangan : Soerabaja.

.............................
Gunung Penanggungan teridentifikasi memiliki 81 situs percandian. Gunung ini memiliki beberapa jalur pendakian, yang paling terkenal dan ramai adalah Jalur Tamiajeng, kemudian disusul Jalur Jolotundo. Jarak antara ke dua jalur ini lumayan jauh kurang lebih delapan kilometer. Di antara keduanya ada jalur baru bernama : Jalur Purba Kedungudi.

Related Posts